r e c o m m e n d a t i o n | Menyimak tatkala rekrutmen posisi VIP para calon menteri Presiden Jokowi

image

 Barangkali, hari-hari ini, kaum oposisi yang kini bermukim di parlemen, tengah tertawa-tawa tergelak, terbahak, terpingkal, melihat begitu banyak kecerobohan dibuat saat dilaksanakannya proses rekrutmen para calon menteri, yang terkesan tanpa pedoman, tanpa konsep, tanpa strategi, dan tanpa didukung perspektif keilmuan: alias amburadul. Maaf!
Bayangkan, bagaimana mungkin diterima akal sehat, tatkala muncul inisiatif istana untuk menskaning kejujuran finansial para calon menteri dengan meminta pendapat KPK, yang muncul justru sodoran laporan tertulis formal dari KPK yang meyakini sekaligus berisi labelisasi perilaku koruptif individu-individu tertentu calon menteri dalam rona warna merah (paling lama satu tahun bakal diciduk KPK) dan kuning (paling lama dua tahun bakal diciduk KPK); tanpa sedikit pun mempertimbangkan azas praduga tak bersalah yang lazim dikedepankan sebelum lahirnya suatu keputusan hukum yang tetap, final, dan mengikat terhadap dugaan telah melakukan kejahatan koruptif sebagaimana yang disangkakan terhadap beberapa individu calon menteri tersebut. Belum lagi laporan tertulis formal seperti itu mudah sekali bocor akibat keteledoran atau dibocorkan atas dasar kesengajaan. Kita jadi was-was dan kembali teringat ke era orde baru yang dikenang bisa dengan gampang melabelkan seseorang sebagai “merah”, atau subversif, atau non-Pancasilais, tanpa melalui proses peradilan. Maaf!
Dalam proses rekrutmen di level posisi VIP, di belahan dunia mana pun lazimnya dilakukan secara senyap, bersih dari berkas, di mana evaluasi akan integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas, dijaring melalui pembicaraan antarpribadi antara pihak yang membutuhkan informasi dengan pihak yang dianggap kredibel memasok informasi yang dibutuhkan tersebut. Wajar jika istana membutuhkan informasi dari KPK dan wajar jika lantas KPK memasok informasi untuk istana, tetapi tidak dengan cara surat menyurat formal yang rawan sadap dan bocor, apalagi menabrak rambu rasa keadilan azas praduga tak bersalah, karena informasi yang diminta belum sah secara hukum, namun punya nilai strategis bagi istana. Akan terasa elegan jika proses penyampaian informasi cukup dilakukan lewat obrolan antarpribadi antara pihak istana dan KPK, mungkin sambil minum kopi di pagi hari. Maaf!
Amburadul dan hingar-bingarnya manajerial kantor transisi selaku tempat bercokolnya para pemikir istana yang nampaknya telah terperosok berkutat ke ranah administratif ketimbang strategik di bulan-bulan lalu, ditambah lagi berlanjut dengan kegaduhan nonproduktif dalam proses seleksi calon menteri selama seminggu ini, semoga tidak berdampak negatif, yakni menghadirkan keragu-raguan akan keterampilan manajerial maupun strategikal pihak istana itu sendiri. Sekali lagi, maaf!!!
Salam psikologi…